Cerita Sek Gara-gara Dukun Jadi Ngesex Sama Mamaku - Aku dilahirkan dalam keluarga pengusaha. Papa dan Mamaku adalah pengusaha. Mereka membangun bisnis bersama dari nol. Usaha keluarga kami cukup menghasilkan. Kami mampu membeli rumah di daerah Kelapa Gading dan beberapa rumah peristirahatan di luar kota Jakarta. Keluarga kami terdiri dari Papaku, Hermawan berusia empat puluh tahun, Mamaku, Lenny berusia tiga puluh enam tahun dan aku, sekarang usiaku delapan belas tahun. Namaku Kenny, tapi sering dipanggil Koko.
Kami keturunan Tionghoa. Papaku tampak seperti pengusaha biasa, dengan rambut mulai membotak dan perut buncit. Mama, di lain pihak, adalah perempuan yang senang merawat diri. Tubuh Mama tidak pernah gendut. Ia tampak langsing dan memiliki postur yang tegap bagai peragawati. Walaupun dadanya tidak terlalu membusung, namun tetap saja terlihat indah dan mancung di balik pakaiannya. Kulit Mama yang putih dengan rambut panjang sebahu dan wajah yang runcing dan cantik, seringkali membuat teman-temanku membicarakan Mamaku sebagai obyek seks. Hal yang sering membuatku bertengkar dengan teman-temanku.
Tetapi jujur saja, aku mengagumi kecantikan Mamaku. Pernah juga aku masturbasi membayangkan tubuh Mamaku namun setelah itu aku merasa bersalah. Alasan aku pernah membayangkan tubuh Mama adalah kami punya kolam renang dan biasa berenang. Biasanya Mama memakai baju renang one piece. Dan karena biasa aku jadi tidak terlalu memikirkannya, namun suatu kali Mama memakai bikini kuning dan aku dapat melihat tubuh Mama yang hampir telanjang. Payudara Mama memang tidak besar, namun gundukkan teteknya cukup jelas terlihat dan bentuknya tegak bukan kendor, dengan puting menyembul di kain penutup dadanya. Perut Mama begitu rata dengan pinggang ramping, namun pantat sedikit besar. Tinggi badannya 160 cm, lebih pendek dariku yang bertinggi 170 cm. Kulitnya begitu putih bagai pualam. Tiba-tiba saja aku ngaceng dan akhirnya aku ke kamar mandi untuk masturbasi.
Kisahku dimulai tahun lalu. Saat itu aku berusia tujuh belas tahun. Aku saat itu kelas 3 SMA. Berhubung aku sudah dewasa dan memiliki KTP, aku dihadiahkan mobil sedan yang sering kupakai untuk sekolah maupun jalan-jalan.
Pada saat itu, usaha Papa dan Mama mengalami kemunduran, kemunduran ini mulai semenjak tiga tahun belakangan. Kami tertipu ratusan juta rupiah. Selain itu, banyak juga rekan bisnis yang memilih untuk berbisnis dengan saingan kami. Juga ada investasi yang tidak menguntungkan, maka makin lama, keuangan kami mulai menipis. Bahkan dua rumah peristirahatan kamipun dijual untuk menutupi hutang-hutang.
Segala hal telah dicoba, mulai dengan menawarkan discount ke rekan bisnis ataupun customer, berhutang ke bank untuk ditanam sebagai modal (yang membuat hutang semakin banyak) dan bahkan pergi ke orang pintar untuk meminta bantuan. Namun semuanya tidak berhasil mengangkat perekonomian keluarga kami.
Suatu hari, teman dekat Mamaku datang berkunjung. Mereka asyik berbincang ngalor ngidul. Akhirnya sampai pada topic keuangan. Teman Mamaku itu juga memiliki bisnis keluarga yang dibangun bersama suaminya. Mama bertanya kepada temannya mengenai kiat mereka sehingga dalam jaman susah begini usahanya makin maju.
Sungguh terperanjat Mama ketika tahu, bahwa temannya itu pergi ke dukun di luar kota. Mulanya Mama tidak percaya, namun temannya tetap bersikukuh bahwa semua karena dukun itu. Akhirnya setelah bicara panjang lebar, Mama menjadi yakin dan ingin mencoba dukun itu. Anehnya, teman Mama berkata,
“Tetapi, Ci. Ada syaratnya.”
“Syarat? Apa syaratnya?”
“Cici harus berangkat berdua ke dukun itu. Harus membawa teman lelaki, tetapi tidak boleh membawa suami.”
“Loh, kenapa?”
“Itu memang syaratnya. Pokoknya cici percaya saja. Saya sudah membuktikan sendiri. Dan segala perkataan dukun itu telah terbukti.”
“Terus harus sama siapa?”
“Pokoknya harus lelaki dewasa yang bukan suami sendiri. Cici kan punya sopir? Saya sarankan bawa sopir aja. Kan sekalian ada yang ngatar juga. Nah, begitu sampai, Cici dan supir Cici harus menghadap dukun itu.”
Tak lama kemudian teman Mama pulang setelah memberitahukan alamat dukun itu dengan peta buram untuk mencapai ke sana. Malamnya, Mama dan Papa berembuk. Papa yang juga sudah tak berdaya menghadapi keadaan akhirnya setuju.
“Tapi, Ma,” kata Papa,” Papa ga mau Mama dianter sopir ke tempat dukun itu di luar kota. Papa ga merasa nyaman.”
“Loh, Pak Mo itu kan sudah lama jadi supir kita? Hampir sepuluh tahun.”
“Papa tetap ga setuju.”
“Tapi syaratnya kan harus ada lelaki yang ngantar Mama.”
“Begini saja, deh. Si Koko itu kan sudah besar, lagian dia juga sudah bisa bawa mobil. Mending kalian berdua saja yang pergi. Papa merasa kalau Koko yang nganter, maka lebih aman dan nyaman. Baik bagi Mama maupun bagi Papa.”
Akhirnya mereka menyetujui hal ini. Aku jadi sopirnya Mama. Pada mulanya aku menolak, berhubung akhir minggu aku ada kencan dengan pacarku. Tapi Papa malah marah dan mengatakan aku anak durhaka yang tak mau menolong keluarga. Akhirnya aku terpaksa menurut juga dengan hati penuh rasa sebal dan marah.
Malam Sabtu kami berangkat sore. Perjalanan ke tempat dukun itu memakan waktu sekitar lima jam. Sekitar pukul sepuluh kami sampai di tempat itu. Tampak banyak pengunjung. Ada sekitar dua puluhan pasangan menunggu. Setelah kamipun ada sekitar lima atau enam pasangan yang datang.
Dari kesemua pasien dukun itu, tampak sepertinya adalah majikan dan sopir. Namun ada juga yang bagaikan suami isteri yang sepantaran. Mungkin juga supir tapi ganteng, entahlah. Mama dan aku berpandangan. Jangan-jangan harus dengan sopir. Wah bisa berabe nih. Namun karena nasi sudah menjadi bubur, maka kami tetap menunggu giliran kami dipanggil dukun itu.
Akhirnya kami dipanggil masuk kamar dukun itu. Dukun itu tampak sedikit terkejut. Kami bersila di depannya dengan tempat kemenyan yang berasap di antara kami dan dukun itu. Setelah jeda yang agak lama ia berkata,
“Maaf, Mama. Mama membawa siapa?”
“Ini anak saya, Ki.”
Dukun itu mengangguk-angguk dan terdiam berfikir selama beberapa saat. Akhirnya ia berkata,
“Biasanya yang datang adalah pasien dengan sopirnya atau temannya. Tapi Mama bawa anak sendiri. Bagus, bagus.”
“Apanya yang bagus, dok?” tanyaku penasaran. Tapi dukun itu tidak menjawab malah menerawang jauh seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya ia berkata lagi,
“Ada keinginan apa, sehingga Mama datang ke sini?”
Mamaku menjawab,
“Begini, Ki. Kami sekeluarga memiliki usaha yang besar. Tetapi akhir-akhir ini terus merugi. Kami sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki usaha kami, tapi selalu gagal. Nah, menurut teman saya, Aki ini katanya pintar sekali dan manjur. Maka kami ke sini minta bantuan Aki agar usaha kami sukses.”
Dukun itu manggut-manggut. Setelah terdiam (lagi) beberapa saat ia berkata,
“Bisa. Bisa. Tapi, syarat untuk mencapai keinginan ini berat sekali. Kalian harus bersumpah kepada Aki untuk melakukan syaratnya. Bila syarat ini tidak dilakukan, maka hasilnya adalah harta kalian akan habis sekejap dan kalian akan jadi miskin.”
“Syarat apa itu, Ki? Kalau tidak berat maka kami pasti akan melakukannya,” kata Mamaku.
“Syarat ini jelas berat. Namun, Aki tidak boleh membicarakan syarat sebelum kalian bersumpah dahulu. Ini adalah keharusan dari ilmu yang Aki miliki.”
“Maksudnya, kami harus bersumpah tanpa tahu syaratnya apa?” Tanya Mama.
“Betul.”
“Gimana, ya Ki? Kami harus tahu dulu agar kami bisa menentukan bisa atau tidaknya. Contoh, bila syaratnya membunuh orang, tentu kami tidak akan melakukannya.”
“tidak perlu membunuh. Syarat ini tidak akan menyakiti orang lain malahan akan memberikan kebaikan pada diri sendiri.”
“Aki tidak akan bilang syaratnya sebelum kami bersumpah?”
Dukun itu mengangguk-angguk lagi.
Mama menatapku dan bertanya,
“Gimana?”
“Koko sih setuju aja bila tidak harus menyakiti orang lain. Kan semua demi keluarga.”
Akhirnya kami setuju. Dan ritual sumpah itu dilakukan. Kami bersumpah sendiri-sendiri dengan sang dukun memegang jidat kami dan mengasapi dengan kemenyan. Anehnya, aku hanya bersumpah akan melakukan satu syarat, sementara Mama harus bersumpah melakukan dua syarat. Barulah kemudian ia kembali duduk di tempat semula dan berkata,
“Perlu diingat bahwa kalian sudah bersumpah. Dan dalam sumpah itu, kalian juga menerima bahwa apabila menolak melakukan syarat-syarat, maka harta kalian akan hilang dari muka bumi.”
Kami berdua mengangguk.
“Sebenarnya syaratnya adalah kalian harus melakukan ritual dalam sebulan tiga kali, untuk membuat jin-jin membantu kalian mengumpulkan uang. Bila ritual ini tidak dijalankan, maka jin-jin itu akan menghabiskan uang kalian, alias akan merugikan kalian sendiri. Ritual itu harus dilakukan kalian berdua sebagai pasangan yang datang kemari minta bantuan.”
Sang dukun berdehem dan kemudian melanjutkan pembicaraan,
“Ritual ini adalah ritual seks.”
“Apaaaa?”
Kami berdua kaget setengah mati. Ritual seks? Mama dan anak?”
“Tapi, Ki. Kami Mama dan anak!” kata Mamaku.
“Justru disitulah kuncinya. Selama ini, Aki menganjurkan ritual dengan lelaki yang bukan suami. Demikian tuntutan ilmu itu. Berselingkuh dengan lelaki lain membuat jin-jin itu akan datang menonton dan bekerja kepada pasangan tidak sah itu. Sedangkan bila Mama dengan anak melakukan ritual, dapat dipastikan jin-jin yang datang akan lebih banyak. Karena selain berselingkuh itu adalah sesuatu yang disukai jin-jin itu, maka berselingkuh dengan anak sendiri adalah hal yang paling disukai mereka. Dipastikan akan lebih banyak Jin yang datang.”
“Tapi…… tapi………..”
Sang Dukun memotong,
“Yang perlu diingat sumpah si lelaki hanya satu syarat, tetapi sumpah si perempuan ada 2 syarat. Yang satu adalah melakukan ritual dengan pasangan yang di bawa ke sini, yang satu adalah untuk menghentikan hubungan seksual dengan suami sendiri. Ini adalah kesenangan Jin yang lain, melihat bahwa si suami tidak mendapatkan tubuh isterinya, sementara isterinya memberikan diri kepada orang lain.”
Mama tambah membelalakan matanya. Seks dengan anak sudah parah, kini tidak boleh berhubungan seks dengan suaminya. Rupanya dukun ini adalah dukun ilmu hitam. Ada rasa penyesalan yang terlihat di wajah Mama. Aku pun kaget jadinya.
Dukun ini berwajah angker dan berwibawa. Mama tidak berani menolak melainkan hanya mengangguk saja untuk memperlihatkan persetujuan. Akhirnya Mama membayar mahar sekitar sepuluh juta rupiah lalu kami pergi dari situ.
Sepanjang jalan Mama ngomel-ngomel. Untung saja Pak Mo, supir kami tidak ikut. Pak Mo itu sudah tua dan tampangnya juga jelek. Mama mana nafsu dengan lelaki itu. Aku sepanjang jalan terdiam karena ketika mendengar syarat itu aku terkejut seperti Mama, namun aku tidak semarah Mama, melainkan aku menjadi membayangkan tubuh Mama saat memakai bikini dan kontolku langsung bangun. Sungguh tak percaya aku mendengarnya. Aku malahan Bahagia. Moga-moga saja Mama mau melakukannya ketika sampai rumah.
Namun, dalam perjalanan kami itu, Mama menekankan bahwa kami tidak akan berhubungan seks. Dukun itu memang gila. Masa harus begituan dengan anak sendiri? Aku menjadi kecewa dan sedih, namun aku berusaha tidak menunjukkannya.
Kami sampai di Jakarta keesokan paginya. Aku langsung tidur karena letih dan begitu juga Mama. Sampai beberapa minggu hal ini tidak pernah kami bicarakan.
Pada saat itu, usaha Papa dan Mama mengalami kemunduran, kemunduran ini mulai semenjak tiga tahun belakangan. Kami tertipu ratusan juta rupiah. Selain itu, banyak juga rekan bisnis yang memilih untuk berbisnis dengan saingan kami. Juga ada investasi yang tidak menguntungkan, maka makin lama, keuangan kami mulai menipis. Bahkan dua rumah peristirahatan kamipun dijual untuk menutupi hutang-hutang.
Segala hal telah dicoba, mulai dengan menawarkan discount ke rekan bisnis ataupun customer, berhutang ke bank untuk ditanam sebagai modal (yang membuat hutang semakin banyak) dan bahkan pergi ke orang pintar untuk meminta bantuan. Namun semuanya tidak berhasil mengangkat perekonomian keluarga kami.
Suatu hari, teman dekat Mamaku datang berkunjung. Mereka asyik berbincang ngalor ngidul. Akhirnya sampai pada topic keuangan. Teman Mamaku itu juga memiliki bisnis keluarga yang dibangun bersama suaminya. Mama bertanya kepada temannya mengenai kiat mereka sehingga dalam jaman susah begini usahanya makin maju.
Sungguh terperanjat Mama ketika tahu, bahwa temannya itu pergi ke dukun di luar kota. Mulanya Mama tidak percaya, namun temannya tetap bersikukuh bahwa semua karena dukun itu. Akhirnya setelah bicara panjang lebar, Mama menjadi yakin dan ingin mencoba dukun itu. Anehnya, teman Mama berkata,
“Tetapi, Ci. Ada syaratnya.”
“Syarat? Apa syaratnya?”
“Cici harus berangkat berdua ke dukun itu. Harus membawa teman lelaki, tetapi tidak boleh membawa suami.”
“Loh, kenapa?”
“Itu memang syaratnya. Pokoknya cici percaya saja. Saya sudah membuktikan sendiri. Dan segala perkataan dukun itu telah terbukti.”
“Terus harus sama siapa?”
“Pokoknya harus lelaki dewasa yang bukan suami sendiri. Cici kan punya sopir? Saya sarankan bawa sopir aja. Kan sekalian ada yang ngatar juga. Nah, begitu sampai, Cici dan supir Cici harus menghadap dukun itu.”
Tak lama kemudian teman Mama pulang setelah memberitahukan alamat dukun itu dengan peta buram untuk mencapai ke sana. Malamnya, Mama dan Papa berembuk. Papa yang juga sudah tak berdaya menghadapi keadaan akhirnya setuju.
“Tapi, Ma,” kata Papa,” Papa ga mau Mama dianter sopir ke tempat dukun itu di luar kota. Papa ga merasa nyaman.”
“Loh, Pak Mo itu kan sudah lama jadi supir kita? Hampir sepuluh tahun.”
“Papa tetap ga setuju.”
“Tapi syaratnya kan harus ada lelaki yang ngantar Mama.”
“Begini saja, deh. Si Koko itu kan sudah besar, lagian dia juga sudah bisa bawa mobil. Mending kalian berdua saja yang pergi. Papa merasa kalau Koko yang nganter, maka lebih aman dan nyaman. Baik bagi Mama maupun bagi Papa.”
Akhirnya mereka menyetujui hal ini. Aku jadi sopirnya Mama. Pada mulanya aku menolak, berhubung akhir minggu aku ada kencan dengan pacarku. Tapi Papa malah marah dan mengatakan aku anak durhaka yang tak mau menolong keluarga. Akhirnya aku terpaksa menurut juga dengan hati penuh rasa sebal dan marah.
Malam Sabtu kami berangkat sore. Perjalanan ke tempat dukun itu memakan waktu sekitar lima jam. Sekitar pukul sepuluh kami sampai di tempat itu. Tampak banyak pengunjung. Ada sekitar dua puluhan pasangan menunggu. Setelah kamipun ada sekitar lima atau enam pasangan yang datang.
Dari kesemua pasien dukun itu, tampak sepertinya adalah majikan dan sopir. Namun ada juga yang bagaikan suami isteri yang sepantaran. Mungkin juga supir tapi ganteng, entahlah. Mama dan aku berpandangan. Jangan-jangan harus dengan sopir. Wah bisa berabe nih. Namun karena nasi sudah menjadi bubur, maka kami tetap menunggu giliran kami dipanggil dukun itu.
Akhirnya kami dipanggil masuk kamar dukun itu. Dukun itu tampak sedikit terkejut. Kami bersila di depannya dengan tempat kemenyan yang berasap di antara kami dan dukun itu. Setelah jeda yang agak lama ia berkata,
“Maaf, Mama. Mama membawa siapa?”
“Ini anak saya, Ki.”
Dukun itu mengangguk-angguk dan terdiam berfikir selama beberapa saat. Akhirnya ia berkata,
“Biasanya yang datang adalah pasien dengan sopirnya atau temannya. Tapi Mama bawa anak sendiri. Bagus, bagus.”
“Apanya yang bagus, dok?” tanyaku penasaran. Tapi dukun itu tidak menjawab malah menerawang jauh seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya ia berkata lagi,
“Ada keinginan apa, sehingga Mama datang ke sini?”
Mamaku menjawab,
“Begini, Ki. Kami sekeluarga memiliki usaha yang besar. Tetapi akhir-akhir ini terus merugi. Kami sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki usaha kami, tapi selalu gagal. Nah, menurut teman saya, Aki ini katanya pintar sekali dan manjur. Maka kami ke sini minta bantuan Aki agar usaha kami sukses.”
Dukun itu manggut-manggut. Setelah terdiam (lagi) beberapa saat ia berkata,
“Bisa. Bisa. Tapi, syarat untuk mencapai keinginan ini berat sekali. Kalian harus bersumpah kepada Aki untuk melakukan syaratnya. Bila syarat ini tidak dilakukan, maka hasilnya adalah harta kalian akan habis sekejap dan kalian akan jadi miskin.”
“Syarat apa itu, Ki? Kalau tidak berat maka kami pasti akan melakukannya,” kata Mamaku.
“Syarat ini jelas berat. Namun, Aki tidak boleh membicarakan syarat sebelum kalian bersumpah dahulu. Ini adalah keharusan dari ilmu yang Aki miliki.”
“Maksudnya, kami harus bersumpah tanpa tahu syaratnya apa?” Tanya Mama.
“Betul.”
“Gimana, ya Ki? Kami harus tahu dulu agar kami bisa menentukan bisa atau tidaknya. Contoh, bila syaratnya membunuh orang, tentu kami tidak akan melakukannya.”
“tidak perlu membunuh. Syarat ini tidak akan menyakiti orang lain malahan akan memberikan kebaikan pada diri sendiri.”
“Aki tidak akan bilang syaratnya sebelum kami bersumpah?”
Dukun itu mengangguk-angguk lagi.
Mama menatapku dan bertanya,
“Gimana?”
“Koko sih setuju aja bila tidak harus menyakiti orang lain. Kan semua demi keluarga.”
Akhirnya kami setuju. Dan ritual sumpah itu dilakukan. Kami bersumpah sendiri-sendiri dengan sang dukun memegang jidat kami dan mengasapi dengan kemenyan. Anehnya, aku hanya bersumpah akan melakukan satu syarat, sementara Mama harus bersumpah melakukan dua syarat. Barulah kemudian ia kembali duduk di tempat semula dan berkata,
“Perlu diingat bahwa kalian sudah bersumpah. Dan dalam sumpah itu, kalian juga menerima bahwa apabila menolak melakukan syarat-syarat, maka harta kalian akan hilang dari muka bumi.”
Kami berdua mengangguk.
“Sebenarnya syaratnya adalah kalian harus melakukan ritual dalam sebulan tiga kali, untuk membuat jin-jin membantu kalian mengumpulkan uang. Bila ritual ini tidak dijalankan, maka jin-jin itu akan menghabiskan uang kalian, alias akan merugikan kalian sendiri. Ritual itu harus dilakukan kalian berdua sebagai pasangan yang datang kemari minta bantuan.”
Sang dukun berdehem dan kemudian melanjutkan pembicaraan,
“Ritual ini adalah ritual seks.”
“Apaaaa?”
Kami berdua kaget setengah mati. Ritual seks? Mama dan anak?”
“Tapi, Ki. Kami Mama dan anak!” kata Mamaku.
“Justru disitulah kuncinya. Selama ini, Aki menganjurkan ritual dengan lelaki yang bukan suami. Demikian tuntutan ilmu itu. Berselingkuh dengan lelaki lain membuat jin-jin itu akan datang menonton dan bekerja kepada pasangan tidak sah itu. Sedangkan bila Mama dengan anak melakukan ritual, dapat dipastikan jin-jin yang datang akan lebih banyak. Karena selain berselingkuh itu adalah sesuatu yang disukai jin-jin itu, maka berselingkuh dengan anak sendiri adalah hal yang paling disukai mereka. Dipastikan akan lebih banyak Jin yang datang.”
“Tapi…… tapi………..”
Sang Dukun memotong,
“Yang perlu diingat sumpah si lelaki hanya satu syarat, tetapi sumpah si perempuan ada 2 syarat. Yang satu adalah melakukan ritual dengan pasangan yang di bawa ke sini, yang satu adalah untuk menghentikan hubungan seksual dengan suami sendiri. Ini adalah kesenangan Jin yang lain, melihat bahwa si suami tidak mendapatkan tubuh isterinya, sementara isterinya memberikan diri kepada orang lain.”
Mama tambah membelalakan matanya. Seks dengan anak sudah parah, kini tidak boleh berhubungan seks dengan suaminya. Rupanya dukun ini adalah dukun ilmu hitam. Ada rasa penyesalan yang terlihat di wajah Mama. Aku pun kaget jadinya.
Dukun ini berwajah angker dan berwibawa. Mama tidak berani menolak melainkan hanya mengangguk saja untuk memperlihatkan persetujuan. Akhirnya Mama membayar mahar sekitar sepuluh juta rupiah lalu kami pergi dari situ.
Sepanjang jalan Mama ngomel-ngomel. Untung saja Pak Mo, supir kami tidak ikut. Pak Mo itu sudah tua dan tampangnya juga jelek. Mama mana nafsu dengan lelaki itu. Aku sepanjang jalan terdiam karena ketika mendengar syarat itu aku terkejut seperti Mama, namun aku tidak semarah Mama, melainkan aku menjadi membayangkan tubuh Mama saat memakai bikini dan kontolku langsung bangun. Sungguh tak percaya aku mendengarnya. Aku malahan Bahagia. Moga-moga saja Mama mau melakukannya ketika sampai rumah.
Namun, dalam perjalanan kami itu, Mama menekankan bahwa kami tidak akan berhubungan seks. Dukun itu memang gila. Masa harus begituan dengan anak sendiri? Aku menjadi kecewa dan sedih, namun aku berusaha tidak menunjukkannya.
Kami sampai di Jakarta keesokan paginya. Aku langsung tidur karena letih dan begitu juga Mama. Sampai beberapa minggu hal ini tidak pernah kami bicarakan.
0 komentar:
Posting Komentar